FORMULASI
KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Wulan Roudhotul Nasikhah
Jurusan Administrasi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Malang
Jl. Semarang No.5 Malang 65145
e-mail: wulanroudhotulnasikhah@gmail.com
Abstrak: Formulasi kebijakan tidak terlepas dari adanya
kebijakan pendidikan, karena keduanya saling berhubungan sangat erat. Dalam
kebijakan pendidikan terdapat sebuah formulasi untuk merumuskan sebuah perencanaan
pendidikan yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di dunia
pendidikan. Karena formulasi dan kebijakan pendidikan berperan penting, maka
dalam prosesnya perlu diadakan proses implementasi dan evaluasi. Proses ini
dilakukan setelah adanya penentuan kebijakan pendidikan.
Kata Kunci : formulasi, kebijakan, pendidikan
Abstract: Policy formulation is inseparable from the existence of educationpolicies, because these two things are very closely related. In educationpolicy there is a formulation to formulate an education plan that aims to solveproblems that exist in the world of education. Because education formulationsand policies play an important role, in the process there needs to be animplementation and evaluation process. This process is carried out after thedetermination of education policy.
Keyword : Formulation, Policy, Education
Kebijakan adalah suatu rangkaian konsep yang
menjadi dasar untuk menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan. Sedangkan pengertian
dari pendidikan sendiri adalah suatu
bidang yang paling utama dan paling penting dalam suatu negara. Jadi kebijakan
pendidikan bisa diartikan sebagai suatu rumusan dari berbagai cara atau
kebijakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional guna memecahkan suatu
masalah yang ada di dunia pendidikan.
Formulasi kebijakan adalah suatu kegiatan
perumusan kebijakan yang disusun dalam suatu rancangan dan yang menjadi dasar pelaksanaan
pendidikan untuk mengelola dan mencapai sasaran tujuan pendidikan yang diharapkan. Tahapan
dari formulasi pendidikan adalah proses untuk memecahkan masalah pendidikan dan
masalah tersebut diselesaikan secara bersama-sama guna mencapai tujuan
pendidikan.
Menurut Hasbullah
(2016: 80) sebagai tahapan kedua,
formulasi kebijakan tidak terlepas dari tahapan agenda setting. Secara dasar tahapan ini terjadi apabila pemerintah
mengakui keberadaan masalah-masalah yang muncul dalam dunia pendidikan dan
menyadari adanya kebutuhan dan tuntutan untuk melakukan sesuatu yang bisa
menyelesaikan masalah. Karena ada perumusan kebijakan pendidikan, maka masalah
kebijakan dan perancangan langkah-langkah beserta pemecahannya adalah yang
menjadi persoalan awal. Merumuskan masalah kebijakan berarti meluruskan
penjelasan mengenai masalah kebijakan yang baik dan benar.
Permasalahan
tersebut dapat terjadi baik dalam proses pembuatannya ataupun dalam
implementasinya. Jika dalam perumusan dan implementasinya tidak baik, maka
peraturan tersebut tidak akan mensejahterakan masyarakat karena kebijakan itu
bertujuan mensejahterakan masyarakat, oleh karena itu peraturan daerah dibuat dan
dilaksanakan dengan baik. Peraturan yang baik dapat terwujud apabila mampu
memenuhi unsur-unsur pembuatan peraturan yang baik (Darwis, 2015:2). Dalam
hal ini peraturan yang digunakan harus sesuai dengan peraturan yang sudah
dibuat dalam perumusan suatu kebijakan. Sehingga tidak ada lagi
perbedaan-perbedaan yang muncul lagi baik dari pihak perumus maupun dari pihak
peserta. Persoalan itu sering muncul karena banyaknya perbedaan pendapat. Maka
dengan dibuatnya peraturan diharapkan dari pihak perumus maupun peserta bisa
menepatinya.
METODE PENELITIAN
Dalam
artikel ini menggunakan metode literasi, dengan menggunakan berbagai sumber
baik dari buku maupun jurnal. Penelitian ini menggunakan studi literasi, dimana
studi literasi dilakukan untuk menemukan beberapa materi yanga akan dijadikan
sebuah artikel. Dengan mencari beberapa referensi teori yang relevan bisa dijadikan sebagai sumber
dalam penyusunan sebuah artikel.
PEMBAHASAN
Lingkungan kebijaksanaan pendidikan adalah segala sesuatu yang
terjadi diluar kebijaksanaan namun memiliki efek samping atau dampak terhadap
pelaksanaan kebijaksanaan pendidikan. Menurut Imron (2012: 38) aktor-aktor
perumusan kebijaksanaan dapat digolongkan menjadi : aktor utama perumusan
kebijaksaan pendidikan dan aktor non utama. Aktor utama lazim disebut sebagai
aktor resmi dan aktor
struktural. Disebut sebagai aktor utama, karena dialah yang
mempunyai kewenangan tanpa dapat digagalkan oleh aktor non utama dalam
memutuskan dan menetapkan sebuah kebijaksanaan. Disebut sebagai aktor resmi, karena merekalah yang secara resmi mendapatkan legalitas untuk
melaksanakan sebuah kebijaksanaan. Disebut sebagai aktor struktural, karena mereka secara umum menduduki jabatan pemerintah begitupun sebaliknya.
Menurut Supandi
dalam Imron (2012:47) ada banyak jenis masalah kebijaksanaan. Pertama, disebut
sebagai masalah prosedural, jika berhubungan dengan cara bagaimana pemerintah
itu diatur dan menjalankan kegiatan dan pekerjaannya. Kedua, disebut sebagai
masalah substansial, jika berkenaan dengan konsekuensi dari kegiatan manusia.
Ketiga, disebut sebagai masalah distributif, jika masalah tersebut melibatkan
sedikit anggota masyarakat dan dapat ditangani orang perorang. Keempat, disebut
masalah regulatori jika msalah tersebut menimbulkan hambatan dan pembatasan
terhadap tindakan manusia. Kelima, disebut masalah redistributif bila berkaitan
dengan transfer sumber-sumber di antara kelompok-kelompok atau kelas
masyarakat.
Jadi bisa
disimpulkan bahwa masalah kebijaksanaan pendidikan itu meliputi, masalah
prosedural, masalah substansial, masalah distributif, masalah regulatori, dan
masalah redistributif. Masalah-masalah disini bisa menjadikan sebuah perbedaan
pendapat antara anggota satu dengan anggota yang lainnya, dan bisa menimbulkan
sebuah perdebatan. Untuk itu dalam mengatasi masalah-masalah diatas sebaiknya
pihak perumusan kebijakan pendidikan lebih mempertimbangkan dan lebih
mempertegas lagi.
Dalam formulasi
kebijakan terdapat sebuah proses dimana beragam informasi mengenai suatu
kebijakan publik akan dipaparkan, serta beragam analisa akan diungkapkan guna
mendapat banyak alternatif kebijakan hingga dipilih satu alternatif yang paling
cocok dan tepat. Proses ini seharusnya mampu diakses oleh beragam lapisan
masyarakat agar masyarakat mampu mengetahui beragam informasi secara utuh demi
melakukan kontrol hingga proses implementasinya, karena tanpa informasi dan
pengetahuan, masyarakat tidak memiliki “alat” untuk melakukan kontrol secara
efektif. Dalam konteks
ini, masyarakat tidak lagi dipandang dan dinilai sebagai objek, melainkan bergeser
menjadi subjek dalam formulasi kebijakan, yang mampu ikut mempengaruhi,
berkontribusi secara langsung, mengumpulkan informasi secara utuh, menganalisa
berbagai alternatif yang ditawarkan, berinteraksi dengan para pakar, hingga
masyarakat memiliki pemahaman dan mampu mengontrol sebuah formulasi kebijakan.
Menurut Imron (2012: 49) agar
rumusan kebijaksanaan, termasuk kebijaksanaan pendidikan yang baik, haruslah
memenuhi kriteria berikut: Pertama, rumusan kebijaksanaan, termasuk kebijaksanaan
pendidikan tidak mendiktekan keputusan spesifik atau hanya menciptakan
lingkungan tertentu. Kedua, rumusan kebijaksanaan, termasuk kebijaksanaan
pendidikan, dapat dipergunakan menghadapi masalah atau situasi yang timbul
secara berulang. Hal ini berarti bahwa waktu, biaya dan tenaga yang telah
banyak dihabiskan, tidak sekedar dipergunakan memecahkan satu masalah atau satu
situasi saja.
Jadi bisa
disimpulkan bahwa kriteria dalam perumusan kebijaksanaan harus bisa memutuskan
keputusan yang spesifik dan mampu menghadapi masalah yang timbul secara
berulang-ulang. Dengan adanya kriteria ini diharapkan para pembuat keputusan
kebijakan pendidikan mampu merumuskan suatu persoalan yang muncul di dunia
pendidikan sehingga tidak ada persoalan-persoalan yang perlu diperdebatkan lagi.
Menurut Imron (2012: 50-51) prosedur yang dilakukan
untuk merumuskan kebijakan termasuk kebijakan pendidikan
adalah sebagai berikut: Pertama, perumusan masalah kebijakan pendidikan (educational
policy problem). Pada tahapan ini perumusan masalah
kebijakan bersifat sangat penting, karena pada keyakinannya formulasi kebijakan
dominan dihabiskan dalam hal ini. Kekeliruan dalam merumuskan masalah berakibat
pada langkah berikutnya dan bisa menjadikan kekeliruan dalam formulasi
pendidikan. Oleh sebab itu, perumusan masalah kebijakan harus bersifat
hati-hati, teliti, dan cermat. Baik data, informasi,maupun keterangan yang
diperoleh dari peserta untuk mendapatkan masukan harus dapat diakomodasikan
serepresentatif mungkin.
Kedua, penyusunan agenda kebijaksanaan. Dari masalah-masalah perumusan
tersebut bisa dipilih mana masalah-masalah yang dijadikan sebagai prioritas dan
bersifat krusial sampai masalah yang bersifat non krusial, sehingga bisa segera
diagendakan. Pengurutan masalah tersebut sangat penting karena tidak semua
masalah dapat diagendakan secara terstruktur. Dengan demikian, masalah-masalah
yang sudah diagendakan dengan sendirinya haruslah masalah yang dapat
diselesaikan. Karena dalam hal ini berkaitan dengan kebijakan yang
berkonsekuensi logis bagi penyediaan sumber-sumber potensial baik yang bersifat
manusiawi maupun non manusiawi.
Ketiga, membuat proposal kebijakasanaan. Dalam pembuatan proposal disini merupakan
kegiatan yang mengarah pada pengembangan suatu tindakan yang arahnya bisa melakukan
pemecahan suatu masalah dalam kebijakan pendidikan.Maksud dari proposal
kebijakan adalah suatu
rangkaian kegiatan yang
menyusun dan mengembangkan
banyak alternatif tindakan dalam rangka memecahkan masalah kebijaksanaan. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi: mengenali
alternatif pemecahan masalah, mendefinisikan dan merumuskan alternatif
pemecahan masalah, mengevaluasi masing-masing alternatif ditinjau dari sudut
kemungkinan dapat diselesaikan atau tidaknya, dan memilih alternatif tercepat untuk memecahkan masalah.
Dalam upaya merumuskan sebuah
kebijakan,termasuk kebijakan pendidikan, apa pun yang dipilih para pengambil keputusan,
selalu akan menimbulkan adanya pro dan kontra. Apalagi bilamana kebijakan
pendidikan dimaksud tidak secara partisipatoris melibatkan berbagai elemen
masyarakat dalam perumusannya. Misalnya saja tidak dilakukan uji publik terlebih
dahulu sebelum suatu kebijakan pendidikan diimplementasikan. Adanya
pertentangan tersebut dapat dimengerti, oleh karena setiap kebijakan pendidikan
akan berdampak secara sosial maupun ekonomi terhadap masyarakat luas, baik
positif maupun negatif. Jadi
proposal kebijakan dibuat untuk merangkai sejumlah kegiatan-kegiatan penentuan
kebijakan pendidikan dalam memutuskan sebuah pemecahan masalah. Pemecahan
masalah disini harus dilakukan secara bersama-sama untuk menemukan sebuah titik
penyelesaian, agar tidak terjadi kesalahpahaman lagi.
Keempat, pengesahan rumusan kebijaksanaan.
Dalam hal ini suatu rumusan kebijakan dianggap selesai setelah disetujui oleh
peserta perumusan kebijaksanaan formal. Pengesahan ini bersifat penting, karena
pada saat itulah dijadikan sebagai pedoman bagi pelaksana kebijaksanaan. Dan
siapapun yang bermaksud untuk diikat oleh rumusan kebijaksanaan tersebut, bisa terikat
karenanya.
Proses pengesahan suatu kebijakan
bisanya diawali dengan keyakinan dan perundingan. Keyakinan disini dapat
diartikan sebagai suatu usaha untuk meyakinkan orang lain tentang suatu
kebenaran atau nilai kedudukan seseorang
agar orang itu dapat mempercayainya dan menerimanya sebagai milik mereka
sendiri. Sedangkan perundingan disini dapat diartikan sebagai suatu proses
dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan atau
mengatur setidak-tidaknya sebagai tujuan yang awalnya tidak mereka sepakati dan
akhirnya bisa diterima meskipun tidak terlalu ideal bagi mereka dengah cara
merumuskan serangkaian tindakan. Baik keyakinan maupun perundingan, diantara
keduanya saling melengkapi satu sama lain. Sehingga penerapan keduanya tersebut
dapat memperlancar proses pengesahan kebijakan.
Menurut
Hasbullah (2016:81) perumusan dan pengesahan kebijakan
disini harus dilakukan secara bersama-sama, agar semua peserta dapat memahami
isi dari rumusan kebijakan tersebut. Agar pengesahan tidak dipandang dari satu
sudut pandang saja tetapi bisa di ambil dari beberapa sudut pandang seseorang.
Pengesahan atau legalitas disini dapat
diartikan sebagai suatu konstitusional
alternatif-alternatif pemecahan masalah terpilih yang selama ini diupayakan.
Pengesahan ini dilakukan untuk mengikat rumusan kebijakan-kebijakan yang ada di
dalam pendidikan. Sekaligus sebagai suatu ikatan rumusan kebijakan agar secara
jelas dapat menemui sasarannya. Oleh karena itu pengesahan disini bersifat
penting, agar siapapun yang bermaksud diikat oleh rumusan kebijakan tersebut,
akan secara jelas menemui sasarannya
Meskipun telah disahkan bukan berarti
rumusan kebijakan tersebut terhindar dari masalah-masalah kebijakan pendidikan.
Menurut Imron (2012:51)
ketidakjelasan tersebut bersumber dari beberapa hal antara lain: Pembuatan
kebijakan kurang menguasai pengetahuan, informasi, keterangan dan
persoalan-persoalan baik yang bersifat konseptual maupun substansinya. Dalam
hal ini perlu adanya koordinasi dan kurangnya ketegasan dari pihak pengesahan
kebijakan pendidikan agar pembuatan kebijaksanaa bisa belajar lagi tentang apa
itu kebijakan dan bisa menguasai apa yang ingin disampaikan dalam pembuatan kebijakan
tersebut. Sehingga tidak muncul masalah-masalah lagi baik dari segi konseptual
maupun substansi.
Sumber
acuan para pembuat kebijakan, baik yang formal maupun yang tidak formal,
berbeda-beda. Oleh
karena berbeda-beda, maka kompromi atau jalan tengah sering diambil sebagai
alternatif untuk mengakomodasinya. Kompromi-kompromi demikian lazim dilakukan,
agar kebijakan lazim dilakukan, agar kebijaksanan dapat dirumuskan sesuai
dengan target waktu yang telah ditetapkan. Hal ini dapat menjadikan
rumusan-rumusan kebijakan tersebut mengembang. Tanpa
adanya kompromi-kompromi, bisa menjadi penyebab formulasi kebijakan pendidikan
tidak disetujui oleh peserta pembuat kebijakan pendidikan. Apabila tidak
disetujui berarti tidak dapat dilakukan. Sehingga perlu adanya kompromi-kompromi
untuk pembuatan keputusan kebijakan pendidikan sehingga bisa diterima oleh
peserta.
Kurangnya
informasi dan terlalu banyaknya informasi berakibat tidak jelasnya
statemen kebijakan. Kurangnya informasi bisa menjadikan penyebab
persoalan-persoalan dan alternatif-alternatif yang dipilih menjadi terlalu
sederhana. Sementara terlalu banyaknya informasi, para perumus dihadapkan
kesulitan ketika bermaksud mensintesiskan persoalan dan alternatif yang dipilih.
Masalah
kebijakan ini dapat diketahui dari berbedanya masalah menurut persepsi orang
satu dengan persepsi orang lain. Bahkan sesuatu yang dianggap oleh seseorang
suatu masalah bisa jadi orang lain mengganggap hal tersebut sebagai suatu yang
menguntungkan, sehingga terjadi perbedaan persepsi satu orang dengan orang yang
lainnya..
Kebijakan
yang telah dirumuskan, perlu dilakukan evaluasi agar hasil dari kebijakan yang
telah dirumuskan tersebut sesuai dengan konsep awal kebijakan yang dibuat.
Evaluasi formulasi kebijakan berkenaan dengan yaitu: (1) penggunaan pendekatan
yang sesuai dengan masalah yang hendak diselesaikan; (2) mengikuti prosedur
yang diterima secara bersama; dan (3) pendayagunaan sumberdaya yang optimal.
Dengan evaluasi ini kemudian akan membuat kebijakan yang dijalankan nantinya
menjadi sesuai antara jenis kebijakan yang telah dibuat dengan metode atau
kegiatan yang akan dijalankan demi menyesuaikan kebijakan tersebut.
KESIMPULAN
Kebijakan
pendidikan bisa diartikan sebagai suatu rumusan dari berbagai cara atau
kebijakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional guna memecahkan suatu
masalah yang ada di dunia pendidikan. Masalah kebijaksanaan
pendidikan itu meliputi, masalah prosedural, masalah substansial, masalah
distributif, masalah regulatori, dan masalah redistributif. Kriteria dalam
perumusan kebijaksanaan harus bisa memutuskan keputusan yang spesifik dan mampu
menghadapi masalah yang timbul secara berulang-ulang. Dengan adanya kriteria
ini diharapkan para pembuat keputusan kebijakan pendidikan mampu merumuskan
suatu persoalan yang muncul di dunia pendidikan sehingga tidak ada
persoalan-persoalan yang perlu didebatkan lagi. Formulasi kebijakan pendidikan adalah suatu cara
untuk mempengaruhi antara perumusan kebijakan dan peserta kebijakan baik yang
bersifat formal maupun non formal untuk menyelesaikan sebuah permasalahan agar
selesai. Langkah-langkah untuk merumuskan suatu kebijakan harus melalui
beberapa tahap, mulai dari perumusan masalah, penyusunan agenda, membuat
proposal, sampai yang terakhir adalah proses pengesahan.
DAFTAR
RUJUKAN
Darwis. 2015. Formulasi Kebijakan
Pendidikan Gratis Kabupaten Pahlawan Tahun 2013. Jurnal Ilmu Pemerintahan, 2(2), 2. Dari Online (https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/view/6666/ 6363).
Hasbullah, H. M. 2016. Kebijakan
Pendidikan: Dalam Perspektif Teori, Aplikasi dan Kondisi Obejektif Pendidikan
di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Imron, A. 2012. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk & Masa
Depannya. Jakarta: Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar