Kamis, 05 September 2019

FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA


FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Wulan Roudhotul Nasikhah

Jurusan Administrasi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Malang 
Jl. Semarang No.5 Malang 65145

Abstrak: Formulasi kebijakan tidak terlepas dari adanya kebijakan pendidikan, karena keduanya saling berhubungan sangat erat. Dalam kebijakan pendidikan terdapat sebuah formulasi untuk merumuskan sebuah perencanaan pendidikan yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada di dunia pendidikan. Karena formulasi dan kebijakan pendidikan berperan penting, maka dalam prosesnya perlu diadakan proses implementasi dan evaluasi. Proses ini dilakukan setelah adanya penentuan kebijakan pendidikan.
Kata Kunci : formulasi, kebijakan, pendidikan
Abstract: Policy formulation is inseparable from the existence of education
policies, because these two things are very closely related. In education
policy there is a formulation to formulate an education plan that aims to solve
problems that exist in the world of education. Because education formulations
and policies play an important role, in the process there needs to be an
implementation and evaluation process. This process is carried out after the
determination of education policy.
Keyword : Formulation, Policy, Education

Kebijakan adalah suatu rangkaian konsep yang menjadi dasar untuk menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan. Sedangkan pengertian dari pendidikan sendiri adalah suatu bidang yang paling utama dan paling penting dalam suatu negara. Jadi kebijakan pendidikan bisa diartikan sebagai suatu rumusan dari berbagai cara atau kebijakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional guna memecahkan suatu masalah yang ada di dunia pendidikan.
Formulasi kebijakan adalah suatu kegiatan perumusan kebijakan yang disusun dalam suatu rancangan dan yang menjadi dasar pelaksanaan pendidikan untuk mengelola dan mencapai sasaran tujuan pendidikan yang diharapkan. Tahapan dari formulasi pendidikan adalah proses untuk memecahkan masalah pendidikan dan masalah tersebut diselesaikan secara bersama-sama guna mencapai tujuan pendidikan.
Menurut Hasbullah (2016: 80) sebagai tahapan kedua, formulasi kebijakan tidak terlepas dari tahapan agenda setting. Secara dasar tahapan ini terjadi apabila pemerintah mengakui keberadaan masalah-masalah yang muncul dalam dunia pendidikan dan menyadari adanya kebutuhan dan tuntutan untuk melakukan sesuatu yang bisa menyelesaikan masalah. Karena ada perumusan kebijakan pendidikan, maka masalah kebijakan dan perancangan langkah-langkah beserta pemecahannya adalah yang menjadi persoalan awal. Merumuskan masalah kebijakan berarti meluruskan penjelasan mengenai masalah kebijakan yang baik dan benar.
Permasalahan tersebut dapat terjadi baik dalam proses pembuatannya ataupun dalam implementasinya. Jika dalam perumusan dan implementasinya tidak baik, maka peraturan tersebut tidak akan mensejahterakan masyarakat karena kebijakan itu bertujuan mensejahterakan masyarakat, oleh karena itu peraturan daerah dibuat dan dilaksanakan dengan baik. Peraturan yang baik dapat terwujud apabila mampu memenuhi unsur-unsur pembuatan peraturan yang baik (Darwis, 2015:2). Dalam hal ini peraturan yang digunakan harus sesuai dengan peraturan yang sudah dibuat dalam perumusan suatu kebijakan. Sehingga tidak ada lagi perbedaan-perbedaan yang muncul lagi baik dari pihak perumus maupun dari pihak peserta. Persoalan itu sering muncul karena banyaknya perbedaan pendapat. Maka dengan dibuatnya peraturan diharapkan dari pihak perumus maupun peserta bisa menepatinya.

METODE PENELITIAN
            Dalam artikel ini menggunakan metode literasi, dengan menggunakan berbagai sumber baik dari buku maupun jurnal. Penelitian ini menggunakan studi literasi, dimana studi literasi dilakukan untuk menemukan beberapa materi yanga akan dijadikan sebuah artikel. Dengan mencari beberapa referensi teori yang relevan bisa dijadikan sebagai sumber dalam penyusunan sebuah artikel.

PEMBAHASAN
Lingkungan kebijaksanaan pendidikan adalah segala sesuatu yang terjadi diluar kebijaksanaan namun memiliki efek samping atau dampak terhadap pelaksanaan kebijaksanaan pendidikan. Menurut Imron (2012: 38) aktor-aktor perumusan kebijaksanaan dapat digolongkan menjadi : aktor utama perumusan kebijaksaan pendidikan dan aktor non utama. Aktor utama lazim disebut sebagai aktor resmi dan aktor struktural. Disebut sebagai aktor utama, karena dialah yang mempunyai kewenangan tanpa dapat digagalkan oleh aktor non utama dalam memutuskan dan menetapkan sebuah kebijaksanaan. Disebut sebagai aktor resmi, karena merekalah yang secara resmi mendapatkan legalitas untuk melaksanakan sebuah kebijaksanaan. Disebut sebagai aktor struktural, karena mereka secara umum menduduki jabatan pemerintah begitupun sebaliknya.
Menurut Supandi dalam Imron (2012:47) ada banyak jenis masalah kebijaksanaan. Pertama, disebut sebagai masalah prosedural, jika berhubungan dengan cara bagaimana pemerintah itu diatur dan menjalankan kegiatan dan pekerjaannya. Kedua, disebut sebagai masalah substansial, jika berkenaan dengan konsekuensi dari kegiatan manusia. Ketiga, disebut sebagai masalah distributif, jika masalah tersebut melibatkan sedikit anggota masyarakat dan dapat ditangani orang perorang. Keempat, disebut masalah regulatori jika msalah tersebut menimbulkan hambatan dan pembatasan terhadap tindakan manusia. Kelima, disebut masalah redistributif bila berkaitan dengan transfer sumber-sumber di antara kelompok-kelompok atau kelas masyarakat.
Jadi bisa disimpulkan bahwa masalah kebijaksanaan pendidikan itu meliputi, masalah prosedural, masalah substansial, masalah distributif, masalah regulatori, dan masalah redistributif. Masalah-masalah disini bisa menjadikan sebuah perbedaan pendapat antara anggota satu dengan anggota yang lainnya, dan bisa menimbulkan sebuah perdebatan. Untuk itu dalam mengatasi masalah-masalah diatas sebaiknya pihak perumusan kebijakan pendidikan lebih mempertimbangkan dan lebih mempertegas lagi.
Dalam formulasi kebijakan terdapat sebuah proses dimana beragam informasi mengenai suatu kebijakan publik akan dipaparkan, serta beragam analisa akan diungkapkan guna mendapat banyak alternatif kebijakan hingga dipilih satu alternatif yang paling cocok dan tepat. Proses ini seharusnya mampu diakses oleh beragam lapisan masyarakat agar masyarakat mampu mengetahui beragam informasi secara utuh demi melakukan kontrol hingga proses implementasinya, karena tanpa informasi dan pengetahuan, masyarakat tidak memiliki “alat” untuk melakukan kontrol secara efektif. Dalam konteks ini, masyarakat tidak lagi dipandang dan dinilai sebagai objek, melainkan bergeser menjadi subjek dalam formulasi kebijakan, yang mampu ikut mempengaruhi, berkontribusi secara langsung, mengumpulkan informasi secara utuh, menganalisa berbagai alternatif yang ditawarkan, berinteraksi dengan para pakar, hingga masyarakat memiliki pemahaman dan mampu mengontrol sebuah formulasi kebijakan.      
Menurut Imron (2012: 49) agar rumusan kebijaksanaan, termasuk kebijaksanaan pendidikan yang baik, haruslah memenuhi kriteria berikut: Pertama, rumusan kebijaksanaan, termasuk kebijaksanaan pendidikan tidak mendiktekan keputusan spesifik atau hanya menciptakan lingkungan tertentu. Kedua, rumusan kebijaksanaan, termasuk kebijaksanaan pendidikan, dapat dipergunakan menghadapi masalah atau situasi yang timbul secara berulang. Hal ini berarti bahwa waktu, biaya dan tenaga yang telah banyak dihabiskan, tidak sekedar dipergunakan memecahkan satu masalah atau satu situasi saja.
Jadi bisa disimpulkan bahwa kriteria dalam perumusan kebijaksanaan harus bisa memutuskan keputusan yang spesifik dan mampu menghadapi masalah yang timbul secara berulang-ulang. Dengan adanya kriteria ini diharapkan para pembuat keputusan kebijakan pendidikan mampu merumuskan suatu persoalan yang muncul di dunia pendidikan sehingga tidak ada persoalan-persoalan yang perlu diperdebatkan lagi.
Menurut Imron (2012: 50-51) prosedur yang dilakukan untuk merumuskan kebijakan termasuk kebijakan pendidikan adalah sebagai berikut: Pertama, perumusan masalah kebijakan pendidikan (educational policy problem). Pada tahapan ini perumusan masalah kebijakan bersifat sangat penting, karena pada keyakinannya formulasi kebijakan dominan dihabiskan dalam hal ini. Kekeliruan dalam merumuskan masalah berakibat pada langkah berikutnya dan bisa menjadikan kekeliruan dalam formulasi pendidikan. Oleh sebab itu, perumusan masalah kebijakan harus bersifat hati-hati, teliti, dan cermat. Baik data, informasi,maupun keterangan yang diperoleh dari peserta untuk mendapatkan masukan harus dapat diakomodasikan serepresentatif mungkin.
Kedua, penyusunan agenda kebijaksanaan. Dari masalah-masalah perumusan tersebut bisa dipilih mana masalah-masalah yang dijadikan sebagai prioritas dan bersifat krusial sampai masalah yang bersifat non krusial, sehingga bisa segera diagendakan. Pengurutan masalah tersebut sangat penting karena tidak semua masalah dapat diagendakan secara terstruktur. Dengan demikian, masalah-masalah yang sudah diagendakan dengan sendirinya haruslah masalah yang dapat diselesaikan. Karena dalam hal ini berkaitan dengan kebijakan yang berkonsekuensi logis bagi penyediaan sumber-sumber potensial baik yang bersifat manusiawi maupun non manusiawi.
     Ketiga, membuat proposal kebijakasanaan.  Dalam pembuatan proposal disini merupakan kegiatan yang mengarah pada pengembangan suatu tindakan yang arahnya bisa melakukan pemecahan suatu masalah dalam kebijakan pendidikan.Maksud dari proposal kebijakan adalah suatu rangkaian kegiatan yang menyusun dan mengembangkan banyak alternatif tindakan dalam rangka memecahkan masalah kebijaksanaan. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi: mengenali alternatif pemecahan masalah, mendefinisikan dan merumuskan alternatif pemecahan masalah, mengevaluasi masing-masing alternatif ditinjau dari sudut kemungkinan dapat diselesaikan atau tidaknya, dan memilih alternatif tercepat untuk memecahkan masalah.
Dalam upaya merumuskan sebuah kebijakan,termasuk kebijakan pendidikan, apa pun yang dipilih para pengambil keputusan, selalu akan menimbulkan adanya pro dan kontra. Apalagi bilamana kebijakan pendidikan dimaksud tidak secara partisipatoris melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam perumusannya. Misalnya saja tidak dilakukan uji publik terlebih dahulu sebelum suatu kebijakan pendidikan diimplementasikan. Adanya pertentangan tersebut dapat dimengerti, oleh karena setiap kebijakan pendidikan akan berdampak secara sosial maupun ekonomi terhadap masyarakat luas, baik positif maupun negatif. Jadi proposal kebijakan dibuat untuk merangkai sejumlah kegiatan-kegiatan penentuan kebijakan pendidikan dalam memutuskan sebuah pemecahan masalah. Pemecahan masalah disini harus dilakukan secara bersama-sama untuk menemukan sebuah titik penyelesaian, agar tidak terjadi kesalahpahaman lagi.
Keempat, pengesahan rumusan kebijaksanaan. Dalam hal ini suatu rumusan kebijakan dianggap selesai setelah disetujui oleh peserta perumusan kebijaksanaan formal. Pengesahan ini bersifat penting, karena pada saat itulah dijadikan sebagai pedoman bagi pelaksana kebijaksanaan. Dan siapapun yang bermaksud untuk diikat oleh rumusan kebijaksanaan tersebut, bisa terikat karenanya.
Proses pengesahan suatu kebijakan bisanya diawali dengan keyakinan dan perundingan. Keyakinan disini dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk meyakinkan orang lain tentang suatu kebenaran atau  nilai kedudukan seseorang agar orang itu dapat mempercayainya dan menerimanya sebagai milik mereka sendiri. Sedangkan perundingan disini dapat diartikan sebagai suatu proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan atau mengatur setidak-tidaknya sebagai tujuan yang awalnya tidak mereka sepakati dan akhirnya bisa diterima meskipun tidak terlalu ideal bagi mereka dengah cara merumuskan serangkaian tindakan. Baik keyakinan maupun perundingan, diantara keduanya saling melengkapi satu sama lain. Sehingga penerapan keduanya tersebut dapat memperlancar proses pengesahan kebijakan.
Menurut Hasbullah (2016:81) perumusan dan pengesahan kebijakan disini harus dilakukan secara bersama-sama, agar semua peserta dapat memahami isi dari rumusan kebijakan tersebut. Agar pengesahan tidak dipandang dari satu sudut pandang saja tetapi bisa di ambil dari beberapa sudut pandang seseorang.
Pengesahan atau legalitas disini dapat diartikan sebagai  suatu konstitusional alternatif-alternatif pemecahan masalah terpilih yang selama ini diupayakan. Pengesahan ini dilakukan untuk mengikat rumusan kebijakan-kebijakan yang ada di dalam pendidikan. Sekaligus sebagai suatu ikatan rumusan kebijakan agar secara jelas dapat menemui sasarannya. Oleh karena itu pengesahan disini bersifat penting, agar siapapun yang bermaksud diikat oleh rumusan kebijakan tersebut, akan secara jelas menemui sasarannya
Meskipun telah disahkan bukan berarti rumusan kebijakan tersebut terhindar dari masalah-masalah kebijakan pendidikan. Menurut Imron (2012:51) ketidakjelasan tersebut bersumber dari beberapa hal antara lain: Pembuatan kebijakan kurang menguasai pengetahuan, informasi, keterangan dan persoalan-persoalan baik yang bersifat konseptual maupun substansinya. Dalam hal ini perlu adanya koordinasi dan kurangnya ketegasan dari pihak pengesahan kebijakan pendidikan agar pembuatan kebijaksanaa bisa belajar lagi tentang apa itu kebijakan dan bisa menguasai apa yang ingin disampaikan dalam pembuatan kebijakan tersebut. Sehingga tidak muncul masalah-masalah lagi baik dari segi konseptual maupun substansi.
Sumber acuan para pembuat kebijakan, baik yang formal maupun yang tidak formal, berbeda-beda. Oleh karena berbeda-beda, maka kompromi atau jalan tengah sering diambil sebagai alternatif untuk mengakomodasinya. Kompromi-kompromi demikian lazim dilakukan, agar kebijakan lazim dilakukan, agar kebijaksanan dapat dirumuskan sesuai dengan target waktu yang telah ditetapkan. Hal ini dapat menjadikan rumusan-rumusan kebijakan tersebut mengembang. Tanpa adanya kompromi-kompromi, bisa menjadi penyebab formulasi kebijakan pendidikan tidak disetujui oleh peserta pembuat kebijakan pendidikan. Apabila tidak disetujui berarti tidak dapat dilakukan. Sehingga perlu adanya kompromi-kompromi untuk pembuatan keputusan kebijakan pendidikan sehingga bisa diterima oleh peserta.
Kurangnya informasi dan terlalu banyaknya informasi berakibat tidak jelasnya statemen kebijakan. Kurangnya informasi bisa menjadikan penyebab persoalan-persoalan dan alternatif-alternatif yang dipilih menjadi terlalu sederhana. Sementara terlalu banyaknya informasi, para perumus dihadapkan kesulitan ketika bermaksud mensintesiskan persoalan dan alternatif yang dipilih.
Masalah kebijakan ini dapat diketahui dari berbedanya masalah menurut persepsi orang satu dengan persepsi orang lain. Bahkan sesuatu yang dianggap oleh seseorang suatu masalah bisa jadi orang lain mengganggap hal tersebut sebagai suatu yang menguntungkan, sehingga terjadi perbedaan persepsi satu orang dengan orang yang lainnya..
Kebijakan yang telah dirumuskan, perlu dilakukan evaluasi agar hasil dari kebijakan yang telah dirumuskan tersebut sesuai dengan konsep awal kebijakan yang dibuat. Evaluasi formulasi kebijakan berkenaan dengan yaitu: (1) penggunaan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang hendak diselesaikan; (2) mengikuti prosedur yang diterima secara bersama; dan (3) pendayagunaan sumberdaya yang optimal. Dengan evaluasi ini kemudian akan membuat kebijakan yang dijalankan nantinya menjadi sesuai antara jenis kebijakan yang telah dibuat dengan metode atau kegiatan yang akan dijalankan demi menyesuaikan kebijakan tersebut.

KESIMPULAN
Kebijakan pendidikan bisa diartikan sebagai suatu rumusan dari berbagai cara atau kebijakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional guna memecahkan suatu masalah yang ada di dunia pendidikan. Masalah kebijaksanaan pendidikan itu meliputi, masalah prosedural, masalah substansial, masalah distributif, masalah regulatori, dan masalah redistributif. Kriteria dalam perumusan kebijaksanaan harus bisa memutuskan keputusan yang spesifik dan mampu menghadapi masalah yang timbul secara berulang-ulang. Dengan adanya kriteria ini diharapkan para pembuat keputusan kebijakan pendidikan mampu merumuskan suatu persoalan yang muncul di dunia pendidikan sehingga tidak ada persoalan-persoalan yang perlu didebatkan lagi. Formulasi kebijakan pendidikan adalah suatu cara untuk mempengaruhi antara perumusan kebijakan dan peserta kebijakan baik yang bersifat formal maupun non formal untuk menyelesaikan sebuah permasalahan agar selesai. Langkah-langkah untuk merumuskan suatu kebijakan harus melalui beberapa tahap, mulai dari perumusan masalah, penyusunan agenda, membuat proposal, sampai yang terakhir adalah proses pengesahan.

DAFTAR RUJUKAN
Darwis. 2015. Formulasi Kebijakan Pendidikan Gratis Kabupaten Pahlawan Tahun 2013. Jurnal Ilmu Pemerintahan, 2(2), 2. Dari Online (https://jom.unri.ac.id/index.php/JOMFSIP/article/view/6666/ 6363).

Hasbullah, H. M. 2016. Kebijakan Pendidikan: Dalam Perspektif Teori, Aplikasi dan Kondisi Obejektif Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Imron, A. 2012. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia: Proses, Produk & Masa Depannya. Jakarta: Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar